LGBT ANCAM INDONESIA !!!
A.
PENGERTIAN LGBT
LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah
ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay"[1] karena
istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.[2]
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk
menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas
seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan
untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender.[2][3] Maka dari itu, seringkali huruf Q
ditambahkan agar queer dan
orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili
(contoh. "LGBTQ" atau "GLBTQ", tercatat semenjak tahun 1996[4]).
Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk
penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas komunitas dan
media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.[5][6]
Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju
dengan akronim ini.[7] Beberapa orang dalam kelompok yang
disebutkan merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai
penyeragaman ini.[8] Beberapa orang menyatakan bahwa
pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama dengan pergerakan kaum
"LGB".[9] Gagasan tersebut merupakan bagian dari
keyakinan "separatisme lesbian &
gay", yang meyakini bahwa kelompok lesbian dan gay harus dipisah satu sama
lain.[8][10] Ada pula yang tidak peduli karena
mereka merasa bahwa: akronim ini terlalu politically correct; akronim LGBT
merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu; dan penggunaan akronim ini
menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian
yang setara.[9][11] Di sisi lain, kaum interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok
LGBT untuk membentuk "LGBTI" (tercatat sejak tahun 1999[12]).[13] Akronim "LGBTI" digunakan
dalam The Activist's Guide of
the Yogyakarta Principles in Action.[14]
B.
SEJARAH
Sebelum revolusi seksual pada tahun 1960-an,
tidak ada kosakata non-peyoratif untuk
menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender ketiga", telah
ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui.[15][16][17][18][19][20]
Istilah
pertama yang banyak digunakan, "homoseksual",
dikatakan mengandung konotasi negatif dan cenderung digantikan oleh "homofil" pada era
1950-an dan 1960-an,[21] dan lalu gay pada tahun 1970-an.[15] Frase
"gay dan lesbian" menjadi lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin
terbentuk.[2] Pada tahun
1970, Daughters of Bilitis menjadikan isu feminisme atau hak
kaum gay sebagai prioritas.[22] Maka, karena kesetaraan didahulukan,
perbedaan peran antar laki-laki dan perempuan dipandang bersifat patriarkal
olehfeminis lesbian. Banyak feminis lesbian yang
menolak bekerja sama dengan kaum gay.[23] Lesbian yang lebih
berpandangan esensialismerasa bahwa pendapat feminis
lesbian yang separatis dan beramarah itu merugikan hak-hak kaum gay.[24] Selanjutnya, kaum biseksual
dan transgender juga meminta pengakuan dalam komunitas yang lebih besar.[2] Setelah
euforia kerusuhan
Stonewall mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an,
terjadi perubahan pandangan; beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima
kaumbiseksual dan transgender.[25][26] Kaum
transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan
biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual
mereka.[25] Setiap
komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan
identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan
komunitas lain; konflik tersebut terus berlanjut hingga kini.[26]
Akronim LGBT
kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari sekitar tahun 1988.[27] Baru pada tahun 1990-an
istilah ini banyak digunakan.[26] Meskipun
komunitas LGBT menuai kontroversi mengenai penerimaan universal atau kelompok
anggota yang berbeda (biseksual dan transgender kadang-kadang dipinggirkan oleh
komunitas LGBT), istilah ini dipandang positif.[3][26] Walaupun
singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil (lihat bagian Ragam di
bawah), akronim ini secara umum dianggap mewakili kaum yang tidak disebutkan.[3][26] Secara
keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah membantu mengantarkan orang-orang
yang terpinggirkan ke komunitas umum.[3][26]
Aktris
transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebut
komunitas LGBT sebagai "minoritas besar terakhir", dan menambahkan
bahwa "Kita masih bisa diganggu secara terbuka" dan "disebut di
televisi."[28]
C. RAGAM
Ada banyak
ragam yang mengganti susunan huruf dalam akronim ini. LGBT atau GLBT merupakan
istilah yang paling banyak digunakan saat ini.[26] Meskipun maknanya sama,
"LGBT" punya konotasi yang lebih feminis dibanding "GLBT"
karena menempatkan "L" terlebih dahulu.[26] Akronim ini saat tidak
meliputi kaum transgender disingkat menjadi "LGB".[26][29] Huruf
"Q" untuk "queer" atau "questioning"
(mempertanyakan) kadang-kadang ditambahkan (contoh, "LGBTQ",
"LGBTQQ", atau "GLBTQ?").[8][30][31] Huruf lain yang dapat
ditambahkan adalah "U" untuk "unsure" (tidak pasti); "C"
untuk "curious" (ingin tahu); "I" untuk interseks;
"T" lain untuk "transeksual" atau "transvestit";
"T", "TS", atau "2" untuk "Two‐Spirit";
"A" atau "SA" untuk "straight allies" (orang
heteroseksual yang mendukung pergerakan LGBT); atau "A" untuk
"aseksual".[32][33][34][35][36] Ada pula yang menambahkan
"P" untuk panseksualitas atau "polyamorous," dan
"O" untuk "other" (lainnya).[26][37] Susunan huruf-huruf
tersebut tidak terstandardisasi; huruf-huruf kurang umum yang telah disebutkan
dapat ditambahkan dalam susunan apapun.[26] Istilah yang beragam tidak mewakili
perbedaan politis antar komunitas, tetapi muncul dari prarasa individu dan
kelompok.[38] Istilah panseksual, omniseksual, fluid, dan queer dianggap masuk
ke dalam "biseksual".[39] Demikian pula, bagi beberapa orang istilah
transeksual dan interseks masuk ke dalam "transgender", meskipun
banyak transeksual dan interseks yang menolaknya.[26]
"SGL"
("same gender loving", pecinta sesama jenis) kadang-kadang digunakan
orang Afrika-Amerika untuk memisahkan diri dari komunitas LGBT yang menurut
mereka didominasi orang kulit putih.[40] "MSM" ("men who have
sex with men", laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki) secara
sinis dipakai untuk mendeskripsikan laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki lain tanpa merujuk pada orientasi seksual mereka.[41][42]
Frase
"MSGI" ("minority sexual and gender identities", identitas
seksual dan gender minoritas) yang diperkenalkan pada tahun 2000-an digunakan
untuk merangkum semua huruf dan akronim, namun masih belum banyak
digunakan.[43] Majalah Anything That Moves menciptakan akronim FABGLITTER
(Fetish seperti komunitas gaya hidup BDSM, Allies atau poly-Amorous, Biseksual,
Gay, Lesbian, Interseks, Transgender, Transsexual Engendering Revolution
(Revolusi Kelahiran Transeksual) atau inter-Racial attraction (ketertarikan
antar ras)), tetapi istilah ini juga tidak banyak digunakan.[2]
Akronim lain yang mulai menyebar
pengunaannya adalah QUILTBAG (Queer/Questioning, Undecided (belum ditentukan),
Interseks, Lesbian, Trans, Biseksual, Aseksual, Gay). Akan tetapi, istilah ini
juga belum umum.[44]
Soal LGBT, benarkah
pemerintah Jokowi lepas tangan?
Ging Ginanjar
Wartawan BBC Indonesia
17 Februari 2016
Kampanye untuk menyudutkan
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dinilai makin menggelombang
baik itu di masyarakat, di parlemen maupun di pemerintahan.
Padahal salah satu
butir Nawacita yang dikampanyekan Joko Widodo sebelum menjadi presiden adalah
penghapusan segala bentuk diskriminasi, termasuk yang terkait orientasi
seksual.
Usai rapat kerja di
Komisi VIII DPR, Selasa (16/01), Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
kembali menyentil penentangannya terhadap LGBT.
"Kalau bawaan
dari lahir, sebagaimana disebut para ahli fikih, ada anak lahir dengan kelamin
ganda. Tinggal peran orang tua untuk mengawasi arahnya yang dominan nanti ke
mana."
Namun sesudah itu
Mensos kembali mengulangi tudingannya bahwa ada rekayasa sosial terkait apa
yang disebutnya penyebaran LGBT.
"Misalnya yang
saya lihat di Lombok baru-baru ini, ada yang menyasar anak-anak kurang mampu,
dengan hadiah-hadiah. Dua minggu sesudah menerima hadiah-hadiah itu, anak-anak
laki-lakinya sudah berubah, jadi pakai lipstik."
Ia tidak menjelaskan
lebih jauh, di Lombok bagian mana, apa yang dimaksud "menyasar," apa
sebetulnya peristiwa itu, apakah ia mengikuti sendiri proses -selama dua minggu
itu.
Yang jelas, sejumlah
kalangan menyebut, beberapa waktu belakangan ini gelombang homofobia melanda
Indonesia.
'Jangan pengaruhi orang lain'
Bahkan berkembang
tudingan, badan PBB untuk program pembangunan, UNDP, mengcurkan dana $8 juta
atau lebih dari Rp100 miliar untuk kampanye kaum LGBT di Indonesia.
Hingga kemudian komisi
di DPR dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerukan UNDP untuk menghentikannya.
Wapres Kalla menyebut jika benar, kucuran dana itu harus dihentikan.
Namun di situs UNDP disebutkan,
program itu untuk sejumlah negara ASEAN dan diarahkan pada penghapusan stigma
dan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap kaum LGBT, dan perlindungannya
di tingkat hukum dan kebijakan. Dan nyatanya, dari $8 juta itu hanya $300.000
-kurang dari Rp. 5 miliar yang dialokasikan bagi Indonesia.
Lepas dari tudingan terhadaop
UNDP, Jusuf Kalla mengakui, LGBT sebetulnya biasa saja. "Hal-hal itu
(LGBT), kalau secara pribadi, harus kita akui, itu memang ada."
Nyatanya, dalam berbagai budaya
dan kepercayaan tradisional Indonesia, LGBT merupakan bagian yang inheren.
Termasuk budaya Bugis.
"Itu lumrah saja hal-hal itu
terjadi. Itu kita anggap biasa, asal bersifat pribadi. Yang salah, ini kalau
menjadi gerakan untuk mempengaruhi orang lain. Apalagi ingin meresmikan
perkawinan sejenis," kata Kalla.
Di sana-sini, terdengar juga
pembelaan terhadap hak-hak LGBT. Kendati wacana penolakan lebih lantang dan mendominasi.
Ketika berlangsung rapat kerja dengan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan,
misalnya, sejumlah anggota DPR juga mengemukakan soal LGBT ini.
Luhut menjawab, ia sepakat dengan
Wapres Jusuf Kalla.
"Mereka mungkin salah, tidak
sesuai dengan norma dan agama. Tetapi mereka harus dilindungi, tidak bisa
dibuang begitu saja," kata Luhut di depan para anggota DPR.
"Dan kita harus ingat, bahwa
bisa saja ada keturunan kita yang LGBT. Mungkin mereka tak sesuai norma dan
agama, tapi mereka itu nyata ada, warga negara yang juga harus
dilindungi."
Sikap inkonstitusional
Gelombang antihomoseksualitas
sempat mendorong sebuah situs media sosial, Line, melakukan swasensor dengan
memblok akses bagi stiker atau semacam emoji di aplikasi mereka yang
mengisyaratkan cinta sesama jenis.
Lalu sempat pula muncul ide dari
sejumlah pemuka agama untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang mendukung
LGBT.
Ini disesalkan pengacara dan ahli
hukum Todung Mulya Lubis.
"Kaum LGBT itu punya hak
yang sama dengan siapa pun sebagai manusia, sebagai warga negara. Tapi apa yang
terjadi belakangan ini, LGBT dianggap mahluk kotor, tak bermoral, yang harus
dilenyapkan. Itu merupakan sikap inkonstitusional," kata Todung.
"Yang menyedihkan
saya," tambah pembela HAM ini pula, "pemerintah presiden Jokowi
seperti lepas tangan saja."
Disebutkannya, presiden sendiri
tidak memojokkan LGBT. Sejauh ini para menteri, pejabat serta lembaga-lembaga
resmi tertentu yang melakukan hal itu. Namun Presiden Jokowi tidak mengambil
langkah apapun untuk menghentikan itu semua.
"Kaum LGBT itu memiliki hak
yang sama di depan hukum, mereka dilindungi konstitusi. Hanya, perlu ada
revolusi mental di kalangan masyarakat, politikus, penegak hukum, untuk
menerima LGBT sebagai manusia biasa sebagaimana mereka," kata Todung.
Ironisnya, kata Todung, 'revolusi
mental' itu sebetulnya adalah istilah kunci pemerintahan Jokowi, tapi itu tak
tercermin sama sekali dalam hingar-bingar soal LGBT.
Todung mengatakan dirinya heran,
bahwa begitu marak penolakan dan kebencian terhadap LBGT belakangan ini.
Padahal salah satu butir Nawacita
pemerintah Jokowi justru menghapuskan diskriminasi, termasuk kepada yang
berorientasi seksual berbeda.
Semoga artikel ini bermanfaat ….
Sumber :
Comments
Post a Comment